MUKADDIMAH
Tiada sesuatu yang dapat mengikat kenangan hidup sebagaimana goresan huruf-huruf yang diabadikan dalam prasasti maupun lembaran-lembaran kertas. Tanpa tulisan kita takkan pernah mengenal sejarah ummat manusia dimasa yang lalu, tak pula mengetahui biografi orang-orang besar yang memenuhi dunia dengan sejarah besar yang layak ditulis dengan tinta emas.
Tanpa tulisan maka segala kejadian dan pengalaman hidup akan sirna dan hancur bersama hancurnya jasad seseorang berkalang tanah. Kita melihat orang-orang besar menuliskan sejarah hidup dan pengalaman mereka untuk menjadi i’tibar, kenangan dan pelajaran bagi dirinya dan generasi yang datang belakangan.
Aku bukanlah orang besar, maupun pahlawan, namun tidaklah kurasa tercela ketika aku mengikuti jejak-jejak orang besar dan para pahlawan. Semoga dengan niat yang baik, diriku dapat dibariskan pada shaf-shaf mereka meskipun berada di barisan paling belakang.
Apalagi ketika menulis menjadi hobi seseorang, maka ia akan menulis apa saja yang ada dibenaknya dan dihatinya untuk menyalurkan bakatnya agar tidak terpendam. Setelah belajar Islam, kutau bahwa menulis adala perkara penting yang menjadi perhatian agama ini, karena itulah tak heran jika surat pertama kali turun dalam Alquran adalah surat Al-Alaq yang memerintahkan ummat Islam untuk membaca.
Perintah untuk membaca ini menunjukkan adanya tulisan yang menjadi objek bacaan. Bahkan dalam beberapa ayat berikutnya Allah mengisyaratkan bahwa diriNyalah yang mengajari manusia dengan perantara pena sebagai alat menulis.
Inilah catatan masa laluku, semoga ada hal-hal indah dan bermanfaat yang dapat diambil manfaatnya bagi diriku dan anak cucuku kelak, juga para pembaca yang tertarik membacanya. Hanya kepada Allah aku bermohon ampun dari kejelekan diri dan niat, dan hanya kepadanya aku bergantung dan berharap, semoga apa yang kulakukan ini tidak mendatangkan kemurkaanNya, dan semoga apa yang kutulis menjadi kenangan hidup di dunia ini sebelum datang kematian menjemput.
AYAHKU
Jikalah ada sosok makluk yang yang paling kukagumi dan paling berjasa dalam hidupku, maka dia adalah Ayah. Manusia yang kuanggap nyaris sempurna dalam akhlak dan prilakunya, keramahan dan budi pekertinya.
Ayah terlahir pada tahun 1928 di sebuah desa yang terletak dibawah bukit barisan daerah Bonjol. Tepatnya di daerah Pasaman Timur berdekatan dengan tugu Khatulistiwa.
Ayahku bernama lengkap Muhammad Yunus bin Sarimin. Nama pemberian orang tuanya yang konon kudengar darinya adalah salah seorang yang taat dan ahli ibadah, yang condong kepada tasawuf yang berkembang di kampungnya.
Terlahir sebagai anak pertama membuat ayahku cepat dewasa dan senantiasa membantu orang tuanya untuk mengasuh adik-adiknya yang kecil.
Kondisi zaman yang tidak begitu bersahabat, membuat ayahku turut merasakan pahitnya penjajahan Belanda dan Jepang. Hidup dengan segala kekurangan, itulah yang dirasakan ayahku dan banyak anak negerinya diperbagai belahan bumi nusantara.
Ia pernah mengisahkan bagaimana dahulu mereka hanya memakan ubi dan keladi sebagai pengganti beras yang tidak terbeli. Bahkan sempat beliau mengisahkan tentang sebagaian sahabatnya yang memakai pakaian dari kulit kayu, yang aku sendiri sulit untuk membayangkannya.
Meskipun dalam zaman penjajahan ayahku sempat menyelesaikan SR (Sekolah Rakyat)nya. Betapa inginya beliau melanjutkan sekolah Agama yang kala itu mustahil dia dapatkan karena ekonomi yang sulit. “Saya ingin sekali sekolah agama nyantri di MTI (Madrasah Tarbiyah Islmiyah) yang didirikan oleh Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli di Canduang Kab.Agam, atau di SumateraThawalib Parabek” katanya . tempat-tempat begitu kesohornya di Nusantara pada masa itu dan banyak mengeluarkan para da’i dan alim ulama yang mumpuni.
MERANTAU
Ketika menginjak dewasa, atas dasar tanggung jawab terhadap adik-adiknya dan untuk meringankan orang tua, beliau berusaha merantau mencari pekerjaan ke Pekan Baru. Setelah bekerja serabutan beberapa lama di sana akhirnya beliau berangkat mengadu nasib mencari peruntungan ke Sumatera Timur -Tanah Deli -yang kelak berubah menjadi Kota Medan.
Dengan keuletan,kerajinan dan amanah, tidak sulit bagi ayahku untuk diterima di salah satu instansi pemerintah. Awalnya hanyalah menjadi juru masak, lambat laun dia diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di PUSDIKLAT PU yang terletak di Kampung Baru-Medan. Jabatan terakhir adalah bagian keuangan kantor tersebut.
“Jabatan basah” yang banyak di impikan orang, dan rentan dengan uang “pelicin” sanggup dilakoni ayahku dengan segala kejujurannya. Berkali-kali rekan-rekannya terkaget mengetahui bahwa ayahku tidak memiliki kecuali hanyalah motor butut yang dibeli dengan angsuran, sepetak tanah dengan bangunan semi permanen.
Gaji PNS yang kala itu hanya dapat menutupi kebutuhan dua hingga tiga minggu membuat ayahku berupaya keras mencari sampingan untuk menghidupi 12 orang anak-anaknya yang masih bersekolah.
KERJA SAMPINGAN
Mulai dari bercocok tanam di tanah kosong samping rumah, usaha kuliner kecil-kecilan memproduksi jajan-jajanan, usaha konveksi, berkedai hingga kerja keras mendorong tong-tong berisi aspal dan membakarnya untuk pembuatan jalan, pernah dilakoni ayahku, dengan tanpa mengeluh ataupun bergantung dengan orang lain.
Terkadang dia mengeluhkan sakit pinggang di masa tuanya efek dari bekerja keras mendorong aspal ketika mudanya dulu. Tubuh tua dan ringkih itu sungguh telah benar-benar menanggung beban berat untuk menghidupi anak, istri dan kerabat-kerabatnya sebagai rasa tanggung jawabnya.
Bahkan ibuku mengkisahkan bahwa segala kepandaian ibu memasak dan merawat anak…murni adalah hasil didikan ayahku. Sebelum berangkat kerja beliau masih sempat memandikan anak-anak dan menyuapi mereka secara berbarengan.
RUMAH SERIBU WAJAH
Rumah sederhana kami yang cukup luas dengan lima kamar, senantiasa dihuni oleh para kerabat-kerabat ayah ataupun ibu, bahkan orang lain yang bukan kerabat pun turut menumpang tinggal sambil mencari keberuntungan nasib mencari kerja di kota Medan.
Suara anak-anak yatim dari para kerabat, juga senantiasa menghiasi rumah kami yang tidak pernah kosong dari mereka. Bahkan ada yang hingga dewasa dan dinikahkan oleh ayah, tanpa meminta imbalan kecuali dari Allah.
Aku mengingat ada seorang yang cacat kedua kaki dan tangannya yang, pernah menumpang dirumah kami bertahun-tahun, meskipun di Medan dia memIliki saudara-saudara kandungnya.
Kini sebagian orang-orang yang tinggal bersama kami dulu, sebagian telah berhasil hidup layak dengan berbagai profesi. Ada yang menjadi kepala sekolah, menjadi guru madrasah, bahkan ada yang menjadi ustadz dan dosen.
KESEDERHANAAN
Sejak kecil kami terbiasa dengan kesederhanaan, makan dengan ala kadarnya. Ibu senantiasa memasak makanan dengan menu murah meriah yang menjadi kegemaran kami, seperti ikan dencis, ikan tongkol, ikan tamban, dan lebih sering kami makan ikan asin kresek.
Aku baru tau ada ikan lezat seperti tenggiri, kakap merah dan yang sekelasnya ketika besar sekarang. Bila ahad datang, menu sarapan kami beralih dari nasi menjadi bubur kacang hijau, pulut(ketan) dan goreng pisang yang diaduk dengan kelapa.
Ayah senantiasa mengajarkan pada kami kesederhanaan dalam makan dan berpakaian. Kami tak punya pakaian yang mewah apalagi baju yang banyak dan bervariasi. nambah koleksi baju baru terwujud ketika dekat lebaran. Untuk uang jajan sekolahpun, seingatku ayah hanya memberikan kami uang saku satu kali dalam seminggu.kala itu kuingat tiap hari sabtu kami dibekali uang 100 rupiah, setengahnya untuk uang saku dan sisanya untuk iyuran kegiatan pramuka.
CINTA AGAMA
Sejak aku berakal dan mulai bisa berfikir, aku melihat ayahku adalah sosok yang begitu kental menjalankan agama. Bila panggilan azan telah dekat, niscaya ia akan sibuk menyiapkan dirinya untuk menyambut panggilan suci tersebut. Dengan baju teluk belanga dan sarung serta peci hitam, ia keluar menyahut panggilan azan di masjid yang di bangun dengan tangannya dan para sahabat-sahabatnya.
Masjid itu di namai Masjid Al-Ikhlas dengan harapan semoga benar-benar ditegakkan di atas keikhasan dan mengharap wajah Allah semata.
Selalu beliau menjadi imam di masjid tersebut, bahkan sebelum banyak para ustadz keluaran perguruan tinggi dan pesantren, beliau kerap menjadi khatib Jum’at meskipun beliau tidak pernah nyantri ataupun belajar agama secara khusus.
Setiap kali aku pulang mengaji dari madrasah “Al-Falah” ayah selalu bertaya padaku: ”sudah sholat ashar? Akupun mengiyakan, karena memang aku selalu mengerjakannya di masjid Al maksum, yang terletak berdekatan dengan madrasahku.Di rumahpun selalu mengingatkan kami perkara sholat, tak pernah jemu.
Kata kakak-kakak ku bahwa setiap pagi lepas subuh beliau mengajari anak-anak nya mengaji membaca Alquran, sehingga sebagian besar dari mereka kelak melanjutkan kebiasaan ayah untuk mengajarkan anak-anak tetagga bacaan Quran.
Hampir seluruh kakak dan abangku matang belajar quran dengan beliau. Namun aku sendiri-karena kesibukan ayah- tidak belajar darinya. aku belajar quran dari madrasah tempatku belajar. Namun aku masih ingat sekali ketika kecil mendapatkan pelajaran membaca sebelum aku masuk sekolah dasar dari ayah langsung. Ialah yang mengajariku membaca huruf latin hingga mahir sebelum bersekolah.
Sebagian kakak dan abang ada yang pernah ikut dalam acara MTQ, baik tingkat kelurahan maupun tingkat antar sekolah. Ku ingat abangku sempat meraih juara dalam bacaan tartil tingkat kelurahan.
Seluruh kakak dan abangku semuanya diwajibkan belajar di madrasah di siang hari setelah pulang dari sekolah umum di pagi harinya.
BERSAMBUNG
——–
18 Rabius Tsani 1439/ 5 Jan 2018
Abu Fairuz